Mengulas Desa Kolam, Kampung dengan Beragam Kisah-Bangunan Bersejarah
Desa Kolam atau biasa dikenal dengan Kampung Kolam merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Di kota ini terdapat berbagai cerita dan bangunan bersejarah seperti Tugu Ampera dan Makam Nyai Ronggeng. Lalu bagaimana asal usul nama Kolam, sejarahnya, dan memiliki berbagai cerita serta bangunan bersejarah. Berikut detikSumut rangkum sejarah, cerita, dan bangunan bersejarah Kota Kolam. Mengapa disebut Desa Kolam?
Wali Kota Kolam Jupri Purwanto menjelaskan nama kawasan yang dipimpinnya. Jupri mengatakan, nama telaga tersebut berasal dari sifat desa tersebut saat pertama kali dihuni warga desa. Kota Kolam dulunya merupakan aliran air berlumpur. Masyarakat dulu kalau turun ke bawah air pasti menyebutnya kolam. Sedikit demi sedikit, kondisi alam membuat warga desa menyebut desa ini Desa Kolam, kata Jurpri kepada detikSumut, Kamis (11/1/2023). Lingkungan alam desa yang dihuni oleh 7.000 kepala keluarga ini telah berubah seiring dengan proses pembangunan yang berkelanjutan di waktu yang berbeda-beda. Ia masih ingat setidaknya ada 5 tempat di Desa Tambak yang tidak kering. Artinya kawasan itu selalu basah atau tergenang air. Namun hal ini baru diketahui pada tahun 1980-an. “Lokasi tersebut kini telah dialihfungsikan, terutama untuk perumahan,” katanya.
“Dulu di sini sering terjadi banjir. Tapi ketika itu berubah, terutama dalam pembangunan tata air, mulai tidak ada lagi,” lanjutnya.
Kisah Kota Danau
Lalu bagaimana sejarah dari kota Kolam itu sendiri? Penulis kelahiran Desa Kolam Ismail Pong juga menulis pamflet pada tahun 2020 berjudul Muleh.
Menurut cerita turun temurun, pada tahun 1886, seorang lelaki tua atau pemuka agama bernama Tengku Ulung datang ke sebuah desa yang penuh dengan pepohonan. Datuk ini akan menjadi utusan kerajaan Melayu Deli untuk membuka negara dan mengembangkan lagu religi Islami.
“Datuk ini menemukan tempat yang selalu tergenang air, seperti bagian danau. “Sejak saat itu kampung ini dinamakan Kampung Kolam,” tulis Ismail dalam bukunya.
Permukiman asli kota ini berada di sekitar Kanal Kobah (sungai kecil) di pinggir perkebunan tembakau Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam kuno di tepi parit Kobah yang oleh penduduk setempat sering disebut Keramat Kobah.
“Sepertinya ada batu nisan yang jelas bertuliskan tahun 1299 H, yang jika diubah menjadi Masehi berarti makam tersebut sudah ada sejak tahun 1877,” tulis Ismail. Pada masa itu, wilayah Kampung Kolam terbentang dari tepian Sungai Percut hingga sekarang menjadi Bandar Setia dan Bandar Klippa. Belakangan Datuk Tengku Jaya Pahlawan mendapat izin dari Sultan Deli untuk mengelola Kampung Kolam. Tengku ini juga tinggal di Masjid Alhakim dan kemudian sempat pindah ke Bandar Setia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tanda tangan tengku atas nama Sultan Deli yang memberikan tanah pemberian kepada masyarakat Kampung Kolam dari suku Melayu, serta diberikan pula kepada pemukim Jawa pada tahun 1909 dan 1926. . “Nama Kampung Kolam diubah menjadi Kampung Kolam pada tahun 1972,” jelas Ismail.
Masyarakat di Kampung Kolam juga ada yang didominasi oleh suku Jawa. Karena sejak masa pemerintahan Belanda, banyak orang Jawa yang merantau ke Tanah Deli. Salah satu cita-citanya adalah menjadi penanam tembakau di daerah yang ditanami tembakau dan tebu, yang merupakan sebagian besar tanaman pangan pada waktu itu di Sumatera Utara. Bangunan bersejarah desa Kolam
Ismail mengungkapkan, setidaknya ada empat rumah yang berada di Desa Kolam. Pertama, Masjid Alhakim. Masjid yang didirikan oleh sekelompok umat Islam yang sebagian besar berkebangsaan Melayu ini didirikan pada tahun 1800. Pimpinan masjid saat itu adalah Abdul Rahman yang diberi nama Tuan Khatib. Masjid yang terbuat dari kayu dan ditutupi daun lontar ini pernah diserang tentara Belanda untuk mencari tentara pada tahun 1949. Ada juga tentara yang mengambil kayu Pak. Khatib karena dia tertarik pada alam, lukisan, dan pepohonan. Pasukan ini dikomandoi oleh Pak Bejo.
Kedua, kenangan Ampera. Monumen ini merupakan simbol untuk memperingati wafatnya tokoh pemuda Pancasila, Bapak. Jacob, dan anggota HMI, Anadlin Prawira. Monumen tersebut terletak di Desa Sukom, tempat ditemukannya kedua jenazah tersebut. Peristiwa ini berawal dari Operasi Gayang yang dilakukan PKI, pasca bencana Lubang Buaya.
Ketiga, Makam Nyai Ronggeng. Pada dasarnya masyarakat setempat tidak mengetahui siapa yang dikuburkan dan sudah berapa lama kuburan tersebut utuh. Namun berawal dari legenda tersebut, dahulu kala ada Nyai Ronggeng yang mengganggu perhatian para laki-laki di desa tersebut dan menimbulkan banyak konflik.
Saat itu, para pria ingin menikmati tarian indah tersebut. Konflik berakhir dengan terbunuhnya dan penguburan Nyai Ronggeng di dekat perkebunan tembakau. Diperkirakan hal ini terjadi pada awal tahun 1800an dan 1900an. Hingga saat ini, tidak jarang masyarakat datang ke sini untuk mencari berkah. Keempat, makam Datuk Kobah. Kategori ini masih menjadi misteri. Letak makam ini berada di pinggir lubang Kobah yang berada di dekat perkebunan sehingga dinamakan Makam Datuk Kobah. Sementara itu, di pemakaman ini diketahui terdapat dua makam laki-laki dan satu makam perempuan. Dalam penyelidikan, batu nisan tersebut kemudian ditemukan di pemakaman umum kota Saentis. Batu nisan terbuat dari batu pantai dengan desain khas melayu. Nama di headline rusak sehingga sulit dibaca. Namun masih ada satu naskah yang sedang ditulis ulang, yaitu tahun 1299 H. Konon, dahulu Datuk Kobah merupakan salah satu tokoh suku Melayu. Saeed Jalaluddin, eks Melayu yang masih hidup, pernah mendengar nama depan Datok Kobah, Datuk Tengku Muhammad Dayah. Namun belum ada bukti kuat yang bisa membuktikan hal tersebut,” tulisnya.
Desa Kolam atau biasa dikenal dengan Kampung Kolam merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Di kota ini terdapat berbagai cerita dan bangunan bersejarah seperti Tugu Ampera dan Makam Nyai Ronggeng. Lalu bagaimana asal usul nama Kolam, sejarahnya, dan memiliki berbagai cerita serta bangunan bersejarah. Berikut detikSumut rangkum sejarah, cerita, dan bangunan bersejarah Kota Kolam. Mengapa disebut Desa Kolam?
Wali Kota Kolam Jupri Purwanto menjelaskan nama kawasan yang dipimpinnya. Jupri mengatakan, nama telaga tersebut berasal dari sifat desa tersebut saat pertama kali dihuni warga desa. Kota Kolam dulunya merupakan aliran air berlumpur. Masyarakat dulu kalau turun ke bawah air pasti menyebutnya kolam. Sedikit demi sedikit, kondisi alam membuat warga desa menyebut desa ini Desa Kolam, kata Jurpri kepada detikSumut, Kamis (11/1/2023). Lingkungan alam desa yang dihuni oleh 7.000 kepala keluarga ini telah berubah seiring dengan proses pembangunan yang berkelanjutan di waktu yang berbeda-beda. Ia masih ingat setidaknya ada 5 tempat di Desa Tambak yang tidak kering. Artinya kawasan itu selalu basah atau tergenang air. Namun hal ini baru diketahui pada tahun 1980-an. “Lokasi tersebut kini telah dialihfungsikan, terutama untuk perumahan,” katanya.
“Dulu di sini sering terjadi banjir. Tapi ketika itu berubah, terutama dalam pembangunan tata air, mulai tidak ada lagi,” lanjutnya.
Kisah Kota Danau
Lalu bagaimana sejarah dari kota Kolam itu sendiri? Penulis kelahiran Desa Kolam Ismail Pong juga menulis pamflet pada tahun 2020 berjudul Muleh.
Menurut cerita turun temurun, pada tahun 1886, seorang lelaki tua atau pemuka agama bernama Tengku Ulung datang ke sebuah desa yang penuh dengan pepohonan. Datuk ini akan menjadi utusan kerajaan Melayu Deli untuk membuka negara dan mengembangkan lagu religi Islami.
“Datuk ini menemukan tempat yang selalu tergenang air, seperti bagian danau. “Sejak saat itu kampung ini dinamakan Kampung Kolam,” tulis Ismail dalam bukunya.
Permukiman asli kota ini berada di sekitar Kanal Kobah (sungai kecil) di pinggir perkebunan tembakau Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam kuno di tepi parit Kobah yang oleh penduduk setempat sering disebut Keramat Kobah.
“Sepertinya ada batu nisan yang jelas bertuliskan tahun 1299 H, yang jika diubah menjadi Masehi berarti makam tersebut sudah ada sejak tahun 1877,” tulis Ismail. Pada masa itu, wilayah Kampung Kolam terbentang dari tepian Sungai Percut hingga sekarang menjadi Bandar Setia dan Bandar Klippa. Belakangan Datuk Tengku Jaya Pahlawan mendapat izin dari Sultan Deli untuk mengelola Kampung Kolam. Tengku ini juga tinggal di Masjid Alhakim dan kemudian sempat pindah ke Bandar Setia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya tanda tangan tengku atas nama Sultan Deli yang memberikan tanah pemberian kepada masyarakat Kampung Kolam dari suku Melayu, serta diberikan pula kepada pemukim Jawa pada tahun 1909 dan 1926. . “Nama Kampung Kolam diubah menjadi Kampung Kolam pada tahun 1972,” jelas Ismail.
Masyarakat di Kampung Kolam juga ada yang didominasi oleh suku Jawa. Karena sejak masa pemerintahan Belanda, banyak orang Jawa yang merantau ke Tanah Deli. Salah satu cita-citanya adalah menjadi penanam tembakau di daerah yang ditanami tembakau dan tebu, yang merupakan sebagian besar tanaman pangan pada waktu itu di Sumatera Utara. Bangunan bersejarah desa Kolam
Ismail mengungkapkan, setidaknya ada empat rumah yang berada di Desa Kolam. Pertama, Masjid Alhakim. Masjid yang didirikan oleh sekelompok umat Islam yang sebagian besar berkebangsaan Melayu ini didirikan pada tahun 1800. Pimpinan masjid saat itu adalah Abdul Rahman yang diberi nama Tuan Khatib. Masjid yang terbuat dari kayu dan ditutupi daun lontar ini pernah diserang tentara Belanda untuk mencari tentara pada tahun 1949. Ada juga tentara yang mengambil kayu Pak. Khatib karena dia tertarik pada alam, lukisan, dan pepohonan. Pasukan ini dikomandoi oleh Pak Bejo.
Kedua, kenangan Ampera. Monumen ini merupakan simbol untuk memperingati wafatnya tokoh pemuda Pancasila, Bapak. Jacob, dan anggota HMI, Anadlin Prawira. Monumen tersebut terletak di Desa Sukom, tempat ditemukannya kedua jenazah tersebut. Peristiwa ini berawal dari Operasi Gayang yang dilakukan PKI, pasca bencana Lubang Buaya.
Ketiga, Makam Nyai Ronggeng. Pada dasarnya masyarakat setempat tidak mengetahui siapa yang dikuburkan dan sudah berapa lama kuburan tersebut utuh. Namun berawal dari legenda tersebut, dahulu kala ada Nyai Ronggeng yang mengganggu perhatian para laki-laki di desa tersebut dan menimbulkan banyak konflik.
Saat itu, para pria ingin menikmati tarian indah tersebut. Konflik berakhir dengan terbunuhnya dan penguburan Nyai Ronggeng di dekat perkebunan tembakau. Diperkirakan hal ini terjadi pada awal tahun 1800an dan 1900an. Hingga saat ini, tidak jarang masyarakat datang ke sini untuk mencari berkah. Keempat, makam Datuk Kobah. Kategori ini masih menjadi misteri. Letak makam ini berada di pinggir lubang Kobah yang berada di dekat perkebunan sehingga dinamakan Makam Datuk Kobah. Sementara itu, di pemakaman ini diketahui terdapat dua makam laki-laki dan satu makam perempuan. Dalam penyelidikan, batu nisan tersebut kemudian ditemukan di pemakaman umum kota Saentis. Batu nisan terbuat dari batu pantai dengan desain khas melayu. Nama di headline rusak sehingga sulit dibaca. Namun masih ada satu naskah yang sedang ditulis ulang, yaitu tahun 1299 H. Konon, dahulu Datuk Kobah merupakan salah satu tokoh suku Melayu. Saeed Jalaluddin, eks Melayu yang masih hidup, pernah mendengar nama depan Datok Kobah, Datuk Tengku Muhammad Dayah. Namun belum ada bukti kuat yang bisa membuktikan hal tersebut,” tulisnya.
No comments: